Konsep tentang Tuhan dalam Islam bersumber dari dan berdasarkan wahyu. Yang kami maksud dengan “wahyu“ di sini sama sekali bukanlah imajinasi seperti khayalan seorang penyair besar ataupun klaim para seniman terhadap diri mereka sendiri. Wahyu di sini juga bukan inspirasi apostolik seperti yang diklaim oleh para penulis kitab suci semacam Bible; ia juga bukan intuisi iluminatif seorang ilmuwan atau pakar yang berpandangan tajam.
Wahyu yang kami maksud di sini adalah firman Tuhan tentang diriNya sendiri, ciptaanNya, relasi antara keduanya, serta jalan menuju keselamatan yang disampaikan pada Nabi dan Rasul pilihan-Nya, bukan melalui suara atau aksara, namun semuanya itu, telah Dia representasikan dalam bentuk kata-kata, kemudian disampaikan oleh Nabi pada umat manusia dalam sebuah bentuk bahasa dengan sifat yang baru, namun bisa dipahami, tanpa ada campur-aduk atau kerancuan (confusion) dengan subyektifitas dan imaginasi kognitif peribadi Nabi. Wahyu ini bersifat final, dan ia (yakni al-Qur’an) tidak hanya menegaskan kebenaran wahyu-wahyu sebelumnya dalam kondisinya yang asli, tapi juga mencakup substansi kitab-kitab sebelumnya, dan memisahkan antara kebenaran dan hasil budaya serta produk etnis tertentu.
Karena kita mengakui bahwa al-Qur’an adalah firman Tuhan yang diwahyukan dalam bentuk baru bahasa Arab, maka gambaran tentang sifat-sifat Tuhan di dalamnya merupakan deskripsi tentang diriNya oleh diriNya sendiri dan dengan kata-kataNya sendiri, menurut bentuk bahasa tersebut (Arab). Konsekuensinya berarti bahwa bahasa Arab al-Quran, interpretasinya dalam hadith, dan penggunaannya secara otentik dan otoritatif di sepanjang masa meneguhkan validitas bahasa tersebut ke derajat yang paling tinggi, sebagai bahasa yang digunakan untuk mendeskripsikan realitas dan kebenaran.
Dalam pengertian ini dan berbeda dari kondisi pemikiran modernis dan post-modernis yang ada, kami berpendapat bahwa bukanlah concern Islam untuk terlibat jauh dalam permasalahan semantik bahasa secara umum, dimana para filosof bahasa menghadapi masalah dalam menyesuaikan or menghubungkan bahasa dengan dengan realitas yang sebenarnya secara tepat. Konsepsi mengenai sifat Tuhan yang berasal dari wahyu juga dibangun di atas fondasi akal dan intuisi, dan untuk beberapa kasus dibangun berdasarkan intuisi empirik, sebagai hasil pengalaman dan kesadaran manusia akan Tuhan dan ciptaanNya.
Sifat Tuhan yang dipahami dalam Islam, tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam doktrin dan tradisi keagamaan lain di dunia. Ia juga tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam tradisi filsafat Yunani dan Hellenistik. Ia tidak sama dengan konsepsi Tuhan yang dipahami dalam filsafat Barat atau tradisi sains; juga tidak sama dengan yang dipahami dalam tradisi mistisisme Timur maupun Barat.
Kalaupun ada kemiripan yang mungkin ditemukan antara sifat Tuhan yang dipahami dalam Islam dengan berbagai macam konsepsi agama lain, maka itupun tidak bisa ditafsirkan sebagai bukti bahwa Tuhan yang dimaksud adalah sama, yakni Tuhan Universal Yang Esa (The One Universal God), karena masing-masing konsep tersebut digunakan sesuai dengan dan termasuk dalam sistem dan kerangka konseptual yang berbeda-beda, sehingga konsepsi tersebut yang merupakan suatu keseluruhan, atau super system, tidak sama antara satu dengan yang lain.
Ini juga berarti bahwa tidak ada Kesatuan Transenden Agama-agama (transcendent unity of religions), jika yang dimaksud dengan kesatuan itu adalah ‘keesaan’ (tawhid) dan ‘kesamaan’. Demikian pula, jika yang dimaksud dengan ‘kesatuan’ itu bukan ‘keesaan’ dan ‘kesamaan’, berarti terdapat keanekaragaman (plurality) dan ketidaksamaan (dissimilarity) agama-agama, bahkan pada level transenden sekalipun.
Namun jika diakui bahwa ada pluralitas atau ketidaksamaan pada level itu, dan yang dimaksud dengan ‘kesatuan’ adalah ‘kesalingterkaitan dari bagian-bagian yang membentuk keseluruhan’, maka, kesatuan adalah kesaling-berhubungan (interconnection) antara agama-agama ataupun berarti ketidaksamaan agama-agama, sebagai bagian-bagian yang membentuk suatu keseluruhan.
Berangkat dari sini, dan jika demikian halnya, maka pada level kehidupan biasa, dimana manusia tunduk pada keterbatasan-keterbatasan kemanusiaan dan dunia materi, tentu tidak ada agama yang sempurna, setiap agama tidak ada yang sempurna, karena setiap agama dinilai tidak mampu mencapai tujuannya sendiri, dan hanya mampu mencapai tujuannya--- yaitu penyerahan diri yang benar pada Tuhan Universal yang Esa, tanpa mensekutukanNya dengan partner, rival, atau yang serupa dengan itu--- hanya pada level transenden.
Pandangan semacam ini jelas keliru, sebab tujuan agama untuk direalisasikan sepenuhnya justeru dalam tataran kehidupan sehari-hari, dimana manusia tunduk pada keterbatasan-keterbatasan kemanusiaan dan dunia materi, bukan dalam tataran abstrak dimana manusia tidak tunduk pada keterbatasan-keterbatasan tersebut, sebagaimana terkandung dalam makna terma ‘transcendent’.
Adapun jika arti ‘transcendent’ dikaitkan dengan suatu kondisi ontologis, di luar sepuluh kategori yang lazim, maka Tuhan yang dimaksud jelas bukan Tuhan agama (Illah sehingga mustahil terdapat ‘kesatuan agama’ pada level tersebut. Pada level itu, Tuhan dikenal sebagai Rabb, bukan sebagai Illah; mengenal Tuhan sebagai Rabb tidak mesti berarti mengakui keesaan atau kesamaan dalam pengakuan yang layak terhadap kebenaran yang dimaksud, karena Iblis juga mengakui Tuhan sebagai Rabb, namun tidak mengakuiNya dengan sebenarnya. Memang, seluruh keturunan Adam telah mengenalNya sebagi Rabb pada level tersebut.
Namun, pengenalan manusia pada Tuhan seperti ini tidak benar, kecuali diikuti dengan pengakuan yang benar pada level, dimana Dia dikenal sebagai Illah. Dan pengakuan yang benar dimana Ia dikenal sebagai Illah mengandung makna tidak mensekutukannya dengan segala partner, rival, atau yang serupa dengan itu, dan berserah diri kepadaNya dengan cara dan keadaan yang diredhai-Nya, dan diajarkan oleh Nabi yang diutusNya.
Jika yang dimaksud dengan ‘transenden’ berkenaan dengan suatu kondisi psikologis pada level pengalaman dan kesadaran, yang melampaui pengalaman dan kesadaran umum di antara umat manusia, maka ‘kesatuan’ yang dialami dan dirasakan pada level transenden bukanlah agama, tapi merupakan pengalaman dan kesadaran keagamaan, yang hanya bisa dicapai oleh sedikit individu di antara umat manusia. Namun, agama maksudnya adalah mencapai tujuannya untuk seluruh umat manusia; dan umat manusia secara keseluruhan tidak pernah mampu mencapai level transenden, dimana pada level itu terdapat suatu kesatuan agama-agama.
Kemudian, jika kesatuan pada level tersebut yang merupakan penghubung dari pluralitas atau ketidaksamaan agama-agama, “sebagai bagian-bagian yang membentuk keseluruhan” telah ditolak - karena setiap agama pada level kehidupan biasa bukanlah bagian dari suatu keseluruhan tapi merupakan suatu keseluruhan itu sendiri - maka kesatuan yang berarti keesaan atau kesamaan disitu bukanlah agama itu sendiri, tapi keesaan Tuhan agama-agama pada level transenden (yakni, esoteris). Ini berarti bahwa meskipun terdapat pluralitas dan keragaman agama-agama pada level kehidupan biasa (eksoteris), setiap agama mampu dan absah dengan caranya sendiri-sendiri yang terbatas, masing-masing otentik dan membawa kebenaran yang sama meskipun terbatas.
Nampaknya, gagasan pluralitas kebenaran yang berasal dari kesamaan validitas dalam pluralitas dan keragaman agama-agama selaras dengan pernyataan dan konklusi umum filsafat dan sains modern, yang muncul dari penemuan adanya pluralitas dan diversitas hukum-hukum yang mengatur alam, yang memiliki validitas yang sama dalam sistem kosmologisnya sendiri. Kecenderungan untuk mengkaitkan penemuan ilmiah modern tentang sistem alam semesta ini dengan pernyataan yang dikaitkan dengan masyarakat manusia, tradisi budaya dan nilai-nilai adalah merupakan salah satu karakteristik dan gambaran umum modernitas. Pendapat mereka yang mendukung teori kesatuan transenden agama-agama didasarkan pada asumsi bahwa, semua agama, yakni semua agama-agama besar yang dianut oleh umat manusia, adalah agama wahyu.
Mereka berasumsi bahwa, universalitas dan esoterisme transenden membenarkan teori mereka, suatu teori yang mereka “temukan“ setelah mereka berkenalan dengan metafisika Islam. Mereka selanjutnya berasumsi bahwa pemahaman mereka terhadap metafisika kesatuan transenden eksistensi (Transcendent Unity of Existence) telah mengandung implikasi kesatuan transenden agama-agama. Ada kesalahan fatal dalam seluruh asumsi-asumsi mereka ini. Bahkan istilah ‘kesatuan transenden agama-agama’ (transcendent unity of religions) itu sendiri cukup menyesatkan, sebuah istilah yang boleh jadi lebih merupakan suatu motif untuk agenda terselubung, ketimbang keyakinan yang mereka percayai kebenarannya.
Klaim kepercayaan yang ada pada mereka mengenai kesatuan transenden agama-agama sebenarnya merupakan hasil rekaan imajinasi induktif mereka, dan semata-mata bersumber dari spekulasi intelektual, bukan dari pengalaman konkrit. Jika asumsi ini ditolak, dan mengingat klaim mereka berasal dari pengalaman orang lain (bukan pengalaman sendiri), maka bisa kita katakan bahwa, perasaan kesatuan yang dialami bukanlah agama, tapi merupakan derajat yang berbeda-beda dari pengalaman religius individu yang tidak bisa digiring pada asumsi, bahwa agama-agama secara individu, yang mengalami ‘kesatuan’ seperti ini, mengandung kebenaran dengan validitas yang sama dengan agama-agama wahyu pada tataran kehidupan biasa. Selanjutnya, sebagaimana telah dinyatakan di atas, Tuhan yang dirasakan dari pengalaman tersebut dikenal sebagai Rabb, bukan Illah yang terdapat dalam agama wahyu. Dan mengenalNya sebagai Rabb belum bisa diartikan mengakuiNya dengan penyerahan diri yang benar karena pengenalan itu.
Ini karena pengingkaran, arogansi dan kebohongan berasal dari wilayah transenden itu sendiri. Hanya ada satu agama wahyu. Itu adalah agama yang disampaikan oleh seluruh Nabi-Nabi terdahulu, yang diutus untuk mengajarkan pesan-pesan wahyu kepada umat mereka masing-masing, sesuai dengan kebijaksanaan dan keadilan rencana Tuhan untuk mempersiapkan umat manusia menerima agama dalam bentuknya yang paling tinggi dan sempurna, sebagai agama universal di tangan Nabi terakhir (Muhammad saw), yang diutus untuk menyampaikan pesan-pesan wahyu, tidak hanya pada umatnya, tapi juga kepada seluruh umat manusia.
Semua pesan wahyu pada intinya selalu sama: untuk mengenal, mengakui dan menyembah Kebenaran Tunggal dan Tuhan Hakiki yang Esa (Illah), tanpa mensekutukanNya dengan segala partner, rival, atau yang serupa dengan itu, tidak juga mensifatkan sesuatu serupa dengan Dia; dan untuk menegaskan kebenaran yang diajarkan oleh Nabi-Nabi terdahulu, dan juga untuk menegaskan kebenaran final yang dibawa oleh Nabi terakhir, sebagaimana yang telah ditegaskan oleh seluruh Nabi-Nabi yang diutus sebelum beliau (yakni sang Nabi terakhir).
Dengan pengecualian umat Nabi terakhir ini, yang melalui mereka agama wahyu sepenuhnya mencapai kesempurnaan, dan yang keasliannya masih terjaga hingga saat ini. Mayoritas umat manusia secara sadar telah meninggalkan petunjuk yang disampaikan oleh Nabi terakhir. Mereka lebih menyukai dan memilih mengikuti ajaran-ajaran buatan manusia yang merupakan hasil kreasi budaya dan temuan etnis mereka sendiri, lalu mengklaim bahwa itu semua sebagai ‘agama-agama’ imitasi dari agama wahyu.
Sesungguhnya hanya ada satu agama wahyu yang asli, yang bernama IslÉm. Manusia yang mengikuti agama ini dipuji oleh Tuhan sebagai sebaik-baik umat manusia. Mengenai beberapa umat manusia yang memilih untuk mengikuti bentuk kepercayaan dan praktek mereka sendiri yang bermacam-macam, yang dianggap sebagai agama, pencapaian mereka pada Kebenaran merupakan penemuan mereka kembali, dengan bantuan petunjuk dan kesungguhan hati.
Mengenai hal ini secara jelas telah ditunjukkan dalam Islam, bahkan pada tataran kehidupan biasa. Hanya Islam yang mengakui dan menegaskan keesaan Tuhan secara absolut tanpa harus mencapai level transenden; tanpa mengacaukan pengakuan dan penegasan ini dengan bentuk kepercayaan dan praktek tradisional yang dianggap sebagai agama; tanpa membaurkan pengakuan dan penegasan ini dengan kreasi budaya dan invensi etnis yang ditafsirkan sebagai imitasi agama wahyu. Karena itu, Islam tidak menerima apapun kesalahan dalam memahami Wahyu, dan dalam pengertian ini, Islam bukan sekedar rangka atau bentuk (form) semata-mata, tapi esensinya itulah sendiri adalah agama (Din).
Dalam kasus Islam kita tidak mengenal sebuah garis horisontal yang memisahkan sisi eksoteris dari esoteris dalam memahami Kebenaran dalam agama. Kita lebih menjaga suatu garis kontinuitas vertikal dari eksoteris ke esoteris; suatu garis kontinuitas vertikal yang kita kenal sebagai jalan yang lurus: IslÉm, ÊmÉn dan iÍsÉn, tanpa adanya inkonsistensi pada tiga tahapan kenaikan spiritual, dengan cara itulah Realitas atau kebenaran transenden yang dikenal dan diakui dalam kasus kita, bisa dicapai oleh banyak orang.
Tidak ada gunanya menyamarkan atau menutup-nutupi kesalahan dan kekeliruan suatu agama dalam memahami dan menginterpretasikan kitab suci yang mereka yakini bersumberkan wahyu. Yaitu dengan mengikuti karakteristik dan ciri-ciri khusus pelbagai bentuk etnis dan simbolisme, dan kemudian menafsirkan simbol-simbol itu dengan metode hermeneutika yang memperdayakan, sehingga kesalahan tersebut tampak sebagai kebenaran.
Agama tidak hanya terdiri dari pernyataan mengenai keesaan Tuhan (tawhid), tapi juga menyangkut cara dan bentuk verifikasi pernyataan itu sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi-Nya yang terakhir, yang mengkonfirmasi, menyempurnakan dan mengkonsolidasikan cara dan bentuk afirmasi serta verifikasi Nabi-Nabi sebelumnya. Cara dan bentuk verifikasi tawhid yang dimaksud adalah cara dan bentuk penyerahan diri pada Tuhan. Pengujian afirmasi kebenaran keesaan Tuhan adalah bentuk dari penyerahan diri pada Tuhan tersebut.
Ini karena bentuk penyerahan diri yang diperankan oleh agama yang mengafirmasi keesaan Tuhan, benar menurut verifikasi afirmasi ini, dan agama yang khusus itu adalah Islam. Karena itu, Islam bukan hanya kata benda verbal yang menunjuk pada penyerahan diri; Islam adalah nama sebuah agama yang khusus yang mendeskripsikan penyerahan diri yang benar, yang juga merupakan definisi agama itu: yakni penyerahan diri pada Tuhan. Cara dan bentuk penyerahan diri yang dilakukan dalam suatu agama secara definitif dipengaruhi oleh konsepsi mengenai Tuhan dalam agama itu.
Karena itu, konsepsi mengenai Tuhan dalam agama amat krusial, khususnya dalam mengartikulasikan secara benar bentuk penyerahan diri yang sesungguhnya; dan konsepsi ini harus mampu untuk mendeskripsikan sifat Tuhan yang benar, yang hanya bisa diperoleh dari wahyu, bukan dari tradisi budaya atau etnis tertentu, tidak juga dari percampuran antara etnis dan tradisi budaya dengan kitab suci, tidak juga dari spekulasi filosofis yang berdasarkan penemuan sains.
Konsepsi mengenai sifat Tuhan dalam Islam adalah merupakan perwujudan dari apa yang telah diwahyukan kepada para Nabi sesuai dengan al-Qur’an. Dia adalah Tuhan yang Esa; Maha Hidup, Berdiri Sendiri, Kekal dan Abadi. Maha Hidup adalah zatNya yang paling hakiki. Dia Maha Esa; ZatNya tidak mungkin terbagi-bagi, baik dalam imaginasi, realitas maupun pengandaian. Dia bukanlah tempat untuk disifatkan, dan Dia bukan juga sesuatu yang bisa dibagi-bagi menjadi bagian-bagian, dan Dia bukan juga sesuatu yang merupakan gabungan dari elemen-elemen pokok.
KeesaanNya bersifat absolut (mutlak) dengan kemutlakan yang tidak sama dengan kemutlakan dalam dunia natural. Walaupun Ia absolut, Ia sendiri dalam kemutlakan diri-Nya (individuation) tidak mengurangi kemurnian kemutlakanNya dan kesucian keesaanNya. Dia bersifat transenden, dengan transendensi yang tetap memungkinkanNya untuk hadir di setiap tempat (omnipresent) dalam waktu yang sama, karena itu, Ia juga hadir secara immanen, tetapi bukan dalam pengertian yang dipahami dalam paradigma pantheisme.
Dia memiliki sifat-sifat yang murni dan abadi yang merupakan sifat-sifat dan kesempurnaan-kesempurnaan yang berasal dari diriNya sendiri. Sifat dan kesempurnaan ini tak lain dari zatNya, dan tetapi sifat dan kesempurnaan ini berbeda dari zatNya, dan berbeda antara sifat yang satu dengan yang lain, dengan tidak menjadikan realitas sifat-sifat itu dan keberbedaannya sebagai entitas terpisah yang hidup berpisah dari zatNya, yang merupakan sebuah pluralitas yang abadi; sifat-sifat itu bergabung dengan zatNya sebagai sebuah kesatuan yang tidak terimajinasi.
Jadi, kesatuannya merupakan kesatuan zat, sifat dan aksi. Karena Ia hidup dan berkuasa, mengetahui, berkehendak, mendengar, melihat dan berbicara melalui sifatNya yang maha Hidup dan Berkuasa, maha Mengetahui, Berkehendak, Mendengar, Melihat dan berbicara; dan semua yang bertentangan dengan ini merupakan sesuatu yang mustahil bagiNya.
Dia tidak sama dengan Sang Penggerak Pertama (First Mover) dalam filsafat Aristoteles, karena Dia selalu bertindak dan berbuat sebagai pelaku yang bebas, yang senantiasa aktif dan kreatif, abadi dan terus-menerus. Namun samasekali tidak berarti bahwa perubahan, transformasi dan ‘proses menjadi’ terjadi pada diriNya. Tidak seperti tuhannya Plato atau Aristoteles, Dia terlalu agung untuk menerima dualisme bentuk dan zat pada aktifitas kreatifNya.
Penciptaan dan ciptaanNya juga tidak bisa dideskripsikan dalam terma metafisika emanasi menurut Plotinus. Penciptaan olehNya merupakan perwujudan realitas ideal yang sudah ada sebelumnya dalam pengetahuanNya, ke dalam eksistensi eksternal dengan kekuatan dan kehendakNya; realitas-realitas ini merupakan entitas-entitas, Dia menjadikannya nyata dalam kondisi batin keberadaanNya.
PenciptaanNya merupakan sebuah aksi tunggal yang berulang dalam proses yang abadi, sementara isi proses itu yang merupakan ciptaan-Nya tidak bersifat kekal, walaupun ciptaan itu merupakan sesuatu yang baru namun tetap dalam kesamaan dalam jangka eksistensi yang berbeda sesuai dengan kehendak-Nya.
Prof. Dr. Syed Muhamad Naquib al-Attas
http://www.mindamadani.my/